Cerita perjalanan yang menyenangkan

Kegiatan penelitian sambil berekreasi.
Daerah penelitian adalah kota Ende dan sekitarnya 

“Mengidentifikasi dan menganalisis daya tarik wisata dan sumber daya wisata warisan sejarah Soekarno selama pengasingan di Kota Ende untuk selanjutnya menyusun perencanaan jalur dan program interpretasi pariwisata warisan sejarah Soekarno selama di Kota Ende” 
Perjalanan panjang yang menyenangkan ini tidak pernah ada dalam bucketlist saya sebelumnya, mengingat status saya yang sebentar lagi akan mengikuti praktik kerja lapangan (PKL) juga tidak mempunyai budget. Keinginan untuk jalan-jalan (refreshing) sangat tinggi tapi ada daya itu hanya mimpi yang harus saya kubur dalam-dalam.
Mimpi indah datang di siang bolong, tiba-tiba handphone berdering dan bergetar, tepatnya pada 12 Agustus 2020 lalu. Sebuah pesan menyapa dan memecah keheningan, antara gembira dan terharu menjadi satu. Sepertinya Tuhan mendengar doa yang selalu saya panjatkan. Seseorang menyapa dan pada poinnya bahwa saya menjadi salah satu yang dipercaya untuk menjadi anggota dalam sebuah penelitian. Setelah melakukan komunikasi dengan semua teman yang sudah ditunjuk sebelumnya bahwa akan berangkat keesokan harinya (grup whatsapp). Salah satu alasannya bahwa kami akan mengikuti kegiatan Festival Kelimutu pada 13 Agustus. Kendala menyapa kami. Dan karena satu dan lain hal, perjalanan pun ditunda hingga waktu yang belum bisa ditentukan. 
Setelah menunggu lama, tepatnya pada tanggal 14 September 2020, pesan di grup menyatakan bahwa “Besok kita berangkat ya ke Ende, semua sudah disiapkan dengan matang". Sempat kaget juga sih, tapi itu sudah. Harus siap.

Hari Ke-1
Labuan Bajo-Bajawa  

Tanggal 15 September perjalanan pun dimulai dari Labuan Bajo. Sepertinya biasa kami mengabadikan momentum langka tersebut dan diumbar ke media sosial. Keberuntungan berpihak pada kami, dalam perjalanan seorang teman di Ruteng menelepon kami dan mengatakan bahwa kami harus singgah di rumahnya karena dia sudah menyiapkan santapan lezat untuk kami. Sebagai mahluk yang peduli terhadap sesama, kami memutuskan untuk singgah (menghargai pengorbanan Beliau). Bang Ryno itulah orang yang dimaksud. Beliau adalah salah satu teman yang kebetulan satu jurusan dengan kami.
Rumah Bang Ryno

Setelah sampai di rumahnya, ternyata kami sudah ditunggu oleh keluarga besar beliau, menyambut kami dengan ramah. Setelah berbincang cukup lama sambil seruput kopi pahit khas Manggarai, kemudian dilanjutkan dengan makan siang bersama. Setelah makan siang bercerita sambil menunggu kopi pahit untuk kami sebagai bekal dalam perjalanan, mengingat Ruteng-Bajawa terkenal dengan daerah dingin, sehingga kopi pahit adalah solusi terbaik. 

Dalam perjalanan dari Ruteng-Bajawa, kami sempat mengalami kendala di tengah perjalanan. Namun, sepertinya kami tidak salah pilih driver. Bang Engkhozt (baca biasa saja jangan sok Inggris) itulah nama panggilannya. Ia adalah seorang sopir handal yang sering menaklukkan  setiap tikungan tajam Trans Flores dan tentunya sering mengalami kendala yang sama. Tanpa memakan waktu yang lama dibantu asisten sopir (salah satu anggota dalam penelitian) semuanya terselesaikan. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan menembus dinginnya malam menikmati perjalanan yang berkelok, hingga pada pukul (21.00+) tiba di Bajawa dan memutuskan untuk nginap disebuah homestay (Homestay Vernando). 
Setelah selesai check in dan menyimpan semua barang bawaan, kami memutuskan untuk mencari warung makan (makan malam). Untuk mencari makan malam, kami harus mengelilingi kota Bajawa menyusuri setiap sudut kota. Membutuhkan waktu yang lama akhirnya kami mendapatkan yang kami cari yaitu Warung Nasi Padang. Brand Warung Nasi Padang adalah salah satu warung yang banyak digemari oleh orang Flores pada umumnya. Salah satu alasan bahwa porsi makan yang disajikan sesuai dengan kondisi perut orang Flores (wkwk). Setelah selesai makan kami balik ke penginapan untuk beristirahat. Sebelum beristirahat kami sepakat bahwa akan mengunjungi sebuah spot dengan branding “Negeri di atas awan", yaitu Wolobobo. 

Hari ke-2
Beberapa destinasi wisata Bajawa dilanjutkan ke Kota Ende.

Pada pukul 5.30 pagi kami berangkat ke tempat tujuan. Bajawa seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa sebuah daerah yang dingin, sesampai di tujuan kami tidak mendapati sesorang di tempat parkiran (ticketing) dan kami memutuskan untuk tetap masuk. Dari area parkiran kami berjalan kaki menelusuri jalan setapak sejauh -+ 200 m. Bukit Wolobobo adalah sebuah bukit dengan ketinggian 1.700 mdpl. Suhu terbilang dingin untuk kami masyarakat Manggarai Barat, ditambah angin yang sedikit kencang. Disarankan menggunakan pakaian yang tebal dan berlengan panjang, khususnya pada kunjungan pagi hari. Panorama alam dari bukit membuat suasana dingin seakan tak terasa. 
Bukit Wolobobo dengan latar G. Inerie

Dari kejauhan Gunung Inerie (Gunung berapi tertinggi di Flores, yaitu 2.245 mdpl) tampak berdiri seperti piramida yang terkadang diselimuti awan tebal di kaki gunung tersebut. Setelah merasa sudah cukup (menikmati dan mengambil gambar) kami memutuskan untuk kembali. Sesampai di parkiran sang penjaga tiket sudah duduk sambil seruput kopi khas Bajawa, kami pun membayar tiket sebesar 5.000/orang. Kemudian kembali ke penginapan dan sarapan pagi juga mandi pagi. Kemudian kami akan ke destinasi selanjutnya yaitu Manulalu dan Kampung Adat Bena.
Selain Wolobobo, Manulalu merupakan spot terbaik untuk melihat Gunung Inerie. Dari kejauhan nampak Kampung Adat Bena juga kampung adat lainnya. Manulalu menyediakan berbagai beberapa fasilitas seperti kedai untuk menikmati hidangan minuman dan makanan dengan menu yang bervariatif. Bagi yang ingin bermalam juga tersedia penginapan bernama Manulalu Bed and Breakfast, berjenis vila dengan harga relatif terjangkau per malamnya juga beberapa spot foto.
 Spot foto di Manulalu 

Selanjutnya kami ke Kampung Adat Bena. Kampung Adat Bena merupakan sebuah perkampungan adat megalitikum (diperkirakan kampung ini ada sejak 1.200 tahun yang lalu). Letak dari Kampung Adat Bena sendiri berada di kaki Gunung Inerie, Desa Tiwuriwu, Kab. Ngada. Salah satu keunikan kampung ini yang membentuk huruf U dan di depan setiap rumah terdapat banyak tengkorak yang berbeda, bahwa makin banyak tengkorak menandakan status sosial pemilik rumah tersebut. 
Foto dengan latar Kamp. Adat Bena 

Mengingat perjalanan masih jauh, kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Ende. Dalam perjalanan, kami singgah di sebuah warung pinggir jalan trans flores (lupa namanya) untuk makan siang sebagai bekal perjalanan mengingat perjalanan  Bajawa-Ende sangat menguras tenaga karena masuk dalam jalur 3T (Tikungan, Tanjakan dan Turunan) manja bangaetz.
Selamat datang di kota sejarah (daerah tujuan penelitian). Setiba di Ende kami nginap di sebuah Hotel. Malamnya kami menelusuri sejumlah nama jalan untuk memburu santapan enak kota Ende.

Hari ke-3
Kota Ende dan sekitarnya 

Keesokan harinya kami memutuskan untuk pindah penginapan sambil menyusun kegiatan. Pagi hari kami pindah penginapan ke sebuah hotel. Kemudian, tempat pertama yang akan kami kunjungi adalah Rumah Pengasingan Bung Karno. Di rumah pengasingan Bung Karno kami disambut oleh seorang pemandu museum, yaitu Bang Fatur. 
Rumah pengasingan Bung Karno (Ende)

Selama beberapa jam kami menelusuri seluruh isi rumah dan melihat benda-benda peninggalan sang proklamator tersebut. Semua jenis aksesoris yang terpampang dijelaskan oleh Bang Fatur kepada kami. Rumah pengasingan ini adalah sumber informasi awal untuk kami menentukan tujuan survei selanjutnya. Tempat selanjutnya adalah Taman Renungan Bung Karno.
Taman Renungan Bung Karno

 Taman Renungan adalah salah satu tempat bersejarah di mana Bung Karno menemukan inspirasi butir-butir Pancasila, tepatnya di bawah sebuah pohon Sukun bercabang lima. Taman sejarah ini menurut saya kurang optimal digunakan karena masih banyak tempat (bangunan) yang tidak difungsikan. Selain itu, sebagai sebuah destinasi pariwisata sejarah, taman ini kurang memberikan edukasi kepada pengunjung karena tidak terdapat buku-buku mengenai sejarah atau papan interpretasi yang bisa memberikan pengetahuan kepada pengunjung. 
Destinasi selanjutnya adalah sebuah pantai yang letaknya tidak jauh dari Taman Renungan Bung Karno. 
Sunsetan DI Ende Beach Bridge 

Sebelum masuk pantai kami sempat menyapa Ibu penjual kain tenun khas Ende, bertanya akan harga kain yang menjadi kebanggaan masyarakat Ende yang akan digunakan sebagai buah tangan (oleh-oleh khas Ende). Karena kendala akan harga (maklum budget backpacker), kami memilih untuk langsung ke pantai karena waktu yang tepat untuk sunset-an telah tiba. Nama pantainya adalah Ende Beach Bridge. Kami menikmati indahnya sang surya jatuh ditelan bumi. Ketika masjid mengumandangkan adzan, kami memutuskan untuk balik ke penginapan. Malam harinya kami menelusuri berbagai nama jalan untuk mencari solusi kantong tengah yang sudah mulai meronta-ronta. Setelah selesai, kami kembali ke penginapan untuk beristirahat.

Hari ke-4
Kota Ende dan sekitarnya 

Keesokan harinya kami mulai dengan kegiatan mengunjungi Dispar (antara Dinas Pariwisata dan Dinas Kebudayaan sudah dipisah) untuk menggali beberapa informasi mengenai tempat yang pernah menjadi bagian dalam kehidupan Bung Karno selama di Ende. Selanjutnya kami mengunjungi Percetakan Arnoldus yaitu percetakan pertama di daratan Flores yang berdiri pada tahun 1926 di Ende oleh Peter Petrus Noyen, SVD. Yang sekarang dikenal dengan PT. ANI (PT. Arnoldus Nusa indah). Tempat ini beralamat di Jln. Katerdal No. 5 Ende.
Percetakan Arnoldus 

Pada sore harinya kami mengunjungi Serambi Soekarno yang letaknya berdekatan dengan PT. ANI. Selama pengasingan di Ende, Rumah Biara Santo Yosef merupakan salah satu tempat
yang rutin dikunjungi oleh Soekarno, Sang Pejuang Muda. Fakta sejarah tersebut kini berwujud sebuah situs permanen yang diresmikan pada tanggal 14 Januari 2019 yang lalu dengan nama Serambi Soekarno, bertepatan dengan peringatan 85 tahun silam Soekarno memijakkan kaki untuk pertama kalinya di Ende sebagai tempat pengasingannya. Bung Karno banyak mengisi waktu dengan membaca berbagai buku dan majalah, berkonsultasi tentang rencana dan jadwal pementasan tonil hasil karyanya, serta bertukar pikiran dan berbincang-bincang akrab dengan para Biarawan, khususnya dua Misionaris asal Belanda, Pater Gerardus Huijtink, SVD, dan Pater Joannes Bouma, SVD, yang menaruh simpati penuh pada cita-cita perjuangannya. Dari Ende, tempat Soekarno menemukan ‘Lima Butir Mutiara’ yaitu Pancasila Untuk Bangsa, Negara, dan Tanah Air Indonesia (sumber: Pater Henri Daros blog). 
Berdiskusi dengan Pater Henri Daros

Banyak cerita yang kami dapatkan dari Pater Henri tentang Bung Karno yang tidak semua orang ketahui. Jika kalian ingin mendapatkan penjelasan detail tentang Bung Karno selama di diasingkan di Ende, Serambi Soekarno adalah solusinya, bahkan buku sejarah yang sudah tidak dipasarkan mengenai kehidupan Bung Karno, tempat ini masih menyimpannya. Ada beberapa sisi bangunan yang masih utuh sejak berdiri pada tahun 1926. Nuansanya masih banyak menyimpan kehidupan Bung Karno muda selama di tempat tersebut. Sedikit cerita, bahwa kami dengan Pater Henri bercerita lama, beliau mengambil minuman ringan dan keripik pisang untuk kami. Sebuah penghargaan selain mendapatkan ilmu tambahan mengenai jejak Sang Proklamator, juga kantong tengah yang terisi keripik pisang dan minuman ringan hingga tidak disadari bahwa waktu menunjukkan pukul 18.00. Seperti biasa kami berfoto bersama sebelum balik ke tempat penginapan. Seperti biasa sebelum kembali ke penginapan kami makan malam, selanjutnya menuju Indomaret untuk belanja makanan juga minuman untuk kegiatan selanjutnya.

Sebelum tidur mimpi indah datang menyapa. Handphone tiba-tiba berdering bertanda ada pesan masuk, isi pesan menyatakan bahwa agenda yang akan kami lakukan keesokan harinya adalah mendaki sebuah gunung berapi. Antara senang dan bimbang. Mendaki adalah sebuah kegiatan yang baru bahkan belum pernah dilakukan sebelumnya, menjadi sebuah tantangan baru yang akan kami hadapi. Bang Fatur dan Bang Aagim menjadi pemandu kami dalam kegiatan ekstrem kali ini. 


Hari ke-5
Kota Ende dan sekitarnya-Moni

Tepatnya pada pukul 03.45 kami berangkat dari hotel menuju titik awal pendakian. Awal pendakian kami menelusuri jalan yang dilalui oleh mobil dumtrack (tambang pasir) juga di kiri kanan ada beberapa titik menjadi tempat tumpukan sampah juga asap pembakaran sampah yang tentunya memberikan kesan yang kurang baik bagi pengunjung yang melakukan pendakian. Menurut keterangan bahwa itu adalah TPA. Tambang pasir yang ada di Jalur pendakian (apakah itu jalur pendakian atau jalur mobil tambang pasir saya kurang tau) menyulitkan kami untuk mendapatkan jalur menuju puncak Gunung Iya. Pemandu kami mengalami kendala untuk menemukan jalur pendakian yang sesungguhnya, hingga kami memutuskan untuk membuat jalur pendakian sendiri membelah alang-alang kering sambil mencari jalur yang sesungguhnya. Kami melewati jalur yang sedikit ekstrem bagi kami seorang pemula juga orang baru. 
Awal kami menelusuri jalur baru tersebut tiba-tiba dari puncak terdengar suara gemuruh bertanda bahwa akan ada hujan. Kejadian tersebut sempat membuat kami ragu untuk melanjutkan mengingat para pendaki profesional mengatakan bahwa pendaki yang berhasil itu bukan pendaki yang berhasil sampai di puncak gunung, tapi pendaki yang baik adalah pendaki yang kembali ke rumah dengan selamat. Setelah sekian lama kami menelusuri, hingga pada akhirnya kami menemukan jalur pendakian sesungguhnya beberapa saat kemudian (jika menemukan jalur sesungguhnya hanya membutuhkan waktu -+2-2,5 jam saja). Ketika akan sampai di puncak, sang mentari pagi sudah menyapa dari kejauhan dengan sinarnya yang manja. Saat yang ditunggu telah tiba, kami sudah berada di puncak Gunung Iya Ende. Setelah beristirahat, kami memutuskan untuk melihat kawah Gunung Iya dengan mencari spot yang baik dan aman, tentunya untuk bisa diabadikan dalam sebuah jepretan. Gunung Iya merupakan gunung berapi aktif dengan ketinggian 637 mdpl. Asap masih aktif keluar dari kawah gunung yang terletak di semenanjung selatan kota Ende tersebut. 
Puncak G. Iya Ende 624 Mdpl

Setelah menikmati keindahan panorama alamnya yang indah, kami memutuskan untuk kembali. Jalur pendakian yang dilalui termasuk kategori sedang (hasil review para pendaki sebelumnya) karena sedikit menanjak dengan jalur pendakian yang banyak terdapat bebatuan kecil yang tentunya harus ekstra hati-hati. Destinasi selanjutnya adalah danau tiga warna Kelimutu. Namun sebelum kami menuju tempat tersebut kami mencari tempat penginapan di daerah Moni. Wisatawan menyebut daerah Moni adalah gerbang menuju Kelimutu yang juga banyak menawarkan penginapan dari yang murah hingga yang mahal. Selain itu, pemandangan yang disajikan daerah ini begitu menggugah selera wisatawan,  bagaimana tidak sejauh mata memandang terbentang hamparan sawah dengan sistem teraseringnya. Karena letaknya berada di kaki gunung Kelimutu udara terasa sejuk terlebih di malam hari, maka disarankan untuk menggunakan pakaian tebal (jaket). Pada malam harinya, kami menelusuri jalan trotoar mencari warung makan, setelah sekian lama mencari kami mendapatkannya dan hanya kami yang mengisi warung (bercerita dan sempat juga menyumbangkan suara emas dari salah satu kawan) tersebut selama beberapa jam. Setelahnya kami kembali dan beristirahat untuk keesokan harinya trekking ke puncak Kelimutu. Sebelumnya kami sudah sepakat untuk ke Kelimutu start dari penginapan jam 05.00 pagi.

Hari ke-6
Desa Moni-Kelimutu-Maumere 

Ketika waktu yang ditentukan telah tiba, kami berangkat ke danau salah satu tempat sunrise terbaik yang dimiliki Indonesia tersebut. Untuk menuju puncak, kami melewati rute tracking yang sudah dibuatkan jalur yang dilengkapi beberapa pengaman untuk wisatawan. Dalam perjalanan kita bisa menikmati udara yang sejuk juga kicauan burung khas Kelimutu. Pada hari kunjungan kami, wisatawan yang berkunjung pun terbilang banyak (tetap mengikuti protokol kesehatan). Ada dua grup wisatawan yang datang berkunjung dan mengerjakan project rekaman di sana (projek rekaman lagu dan fashion show kain tenun khas Ende yang direkam oleh sebuah TV nasional). Cuaca terbilang bersahabat kepada kami (cuaca terang beberapa saat) sehingga bisa mendapatkan beberpa jepretan yang sesuai dengan harapan kami. Disarankan jika ke puncak harap menggunakan pakaian tebal (jaket atau sarung khas Ende) karena cuaca begitu dingin juga angin yang terkadang menyapa dengan manjanya. 
Tugu puncak Kelimutu 

Setelah selesai foto dengan beragam style kami memutuskan untuk balik ke parkiran. Area parkiran juga sekarang digunakan sebagai tempat penjualan makanan, minuman dan kain tenun khas daerah sekitar. Jika mempunyai niat untuk berfoto dengan menggunakan kain khas daerah sana dianjurkan untuk membelinya sebelum trekking ke puncak (kain tenun dan danau tiga warna maka akan lebih sempurna). Sebelum kembali ke Moni (penginapan) di area parkiran kami menikmati mie gelas untuk mengobati rasa dingin yang masih menyelimuti kami, tidak sempurna jika teman-teman hanya datang jika tidak menikmati secangkir kopi khas daerah Moni. Setiap tegukan, kalian akan merasakan bagaimana sempurnanya perjalanan Anda yang tidak hanya menikmati alamnya tapi merasakan hasil alamnya.

Tidak sempurna rasanya jika hanya mengunjungi Ende, kabupaten tetangga juga wajib Anda kunjungi, karena banyak menyimpan cerita  yang mesti Anda dengar dan rasakan sendiri. Maumere, Kabupaten Sikka adalah tujuan berikutnya, daerah yang pernah dilanda tsunami pada tahun 1992, namun saat ini telah menjadi sebuah kota yang cantik. Mulai dari pesona alam, budaya dan religinya yang sangat kental. Pada siang harinya setelah kembali dari Kelimutu, kami selanjutnya ke Maumere. Perjalanan yang sedikit melelahkan antara Ende dan Maumere itu dikarenakan jalannya yang berkelok-kelok. Jalan yang banyak terdapat 3T-nya yaitu tikungan, tanjakan dan turunan yang sangat manja membuat kepala seakan bergoyang mengikuti nada musik yang diputarkan oleh sang sopir terbaik kami. 

Tibalah saatnya kami memasuki daerah yang indah tersebut. Dalam perjalanan, kami sudah booking sebuah penginapan selama berada di Maumere yaitu sebuah hotel yang bisa dikategorikan sangat sesuai dengan budget kami. Destinasi pertama yang kami kunjungi untuk sisa hari tersebut adalah Patung Bunda Maria Bukit Nilo. 
Patung Bunda Maria di Bukit Nilo 

Patung yang memiliki ketinggian 25 meter dibangun pada tahun 2004 dan diresmikan pada 31 Mei 2005, yang berada pada ketinggian 1600 mdpl. Tempat ini selain sebagai tempat religi juga sebagai lokasi untuk melihat kota Maumere dari ketinggian. Setelah merasa puas menikmati pemandangan juga teman-teman yang lain telah berdoa, kami putuskan untuk pulang dan makan malam di cafe hotel kami menginap. 

Hari ke-7
Maumere dan Destinasi Pariwisatanya 

Keesokan harinya kami mengunjungi beberapa destinasi. Sebelum kami memulai kegiatan di pintu keluar kami dimintai kunci kamar oleh resepsionis yang dalam benak kami bahwa mungkin mereka akan merapikan kamar kami, ternyata tidak ada perubahan tampilan pada kamar kami ketika kami tiba kembali di hotel (saya berpikir negatif akan tindakan tersebut). Destinasi pertama yang kami kunjungi yaitu Museum Bikon Blewut, Ladelero. 
Berada di depan pintu masuk Museum

Museum ini terletak di dalam kompleks Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ladelero, di Desa Nita, Kabupaten Sikka. Museum ini didirikan pada tahun 1965, didirikan oleh Pater Dr. Theodor Verhoven SVD. Ada tiga objek utama yang ditampilkan yaitu Gading Gajah purba, tengkorak manusia purba  Flores dan Keris Dongson. Selain itu, ada beberapa alat musik tradisional Flores, tenun ikat Flores, benda-benda kuno, benda-benda ajaib, fauna, ukiran, fosil dan lain-lain. 

Selanjutnya kami mengunjungi sebuah tempat yaitu Tenun Ikat Lepo Lerun yang begitu terkenal di telinga wisatawan. Satu hal yang menarik bawah kain tenun ikat tempat ini sudah memiliki Sertifikat Indikasi Geografis (IG). Sehingga tak heran jika harga tenunannya terbilang mahal. Bahkan ketika berfoto di tempat tersebut harus meminta izin kepada sang pemilik, juga ketika wisatawan mengambil foto dengan menggunakan busana adat yang sudah didesain, maka harga yang disematkan membuat kami kaget yaitu 100.000/foto. Destinasi berikutnya adalah Monumen Tsunami yang letaknya di tengah kota untuk memperingati bencana Tsunami pada tahun 1992. 
Monumen memperingati Tsunami Maumere 1992

Selama berada di taman tersebut kami tidak mendapatkan informasi tambahan selain melihat monumen yang berdiri kokoh tersebut. Perjalanan dilanjutkan ke Pasar Alok untuk membeli kain tenun dan membeli baju sebagai kenangan, karena menurut informasi bahwa Maumere terkenal dengan daerah dengan harganya yang murah meriah. 

Selanjutnya kami menuju Hutan Mangrove Magepanda, letaknya di bagian utara kota Maumere. 
Hutan Mangrove 

Salah satu yang menarik dari Hutan Mangrove ini adalah sebuah jembatan bambu yang membelah hutan tersebut dengan panjang 450 meter. Hutan mangrove ini adalah sebuah tempat milik seorang keturunan Tionghoa  namanya Baba Akong. Ia menanam atau mengelola hutan ini sejak 1993 setelah Maumere dihantam tsunami 1992. Karena kesungguhannya merawat lingkungan hingga pada tahun 2008 dan 2009 ia mendapatkan penghargaan dari Presiden SBY sebagai perintis lingkungan (foto penyerahan penghargaan ada pada sebuah baliho di dinding rumah tempat kami membayar karcis, untuk harga karcis hanya 5000/orang). Setelah waktu agak sore, kami mengunjungi sebuah spot wisata yang berdekatan dengan hutan mangrove tersebut yaitu Tanjung Magepanda atau orang biasa menyebutnya tangga seribu atau Bukit Salib Magepanda. Selain digunakan untuk wisata religi karena terdapat patung salib tersebut, juga tempat ini adalah tempat terbaik menikati sunset. 
Tanjung Magepanda (Bukit Salib)

Panorama alam yang sungguh indah. Kami menikmati indahnya tempat tersebut hingga waktu maghrib. Setelahnya kami kembali ke penginapan dan untuk makan malam kami kembali ke hotel tempat kami menginap. Kami menghabiskan waktu di Maumere selama dua hari dua malam. 

Hari ke-8
Perjalanan dari Maumere ke Boawae, Nagekeo 

Di hari kedua/terakhir kami mempersiapkan diri untuk kembali ke Labuan Bajo. Sebelum keluar dari Maumere, kami mengambil baju di laundry. Setelah selesai kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Labuan Bajo. Di sepanjang tepi jalur Trans Flores antara Maumere dan Ende kita dapat menyaksikan pohon kelapa yang menghiasi seluruh jalur tersebut (sejauh mata memandang terutama daerah dekat Maumere) sehingga saya menyebut Maumere adalah daerah sejuta pohon kelapa. Dalam perjalanan pulang kami mengunjungi sebuah gereja tua, yaitu Gereja St. Ignatius Loyola yang diresmikan pada 24 Desember 1899. Gereja ini masih berdiri kokoh dan masih natural sejak berdiri, hanya saja pada tahun 1952 atapnya diganti dengan genteng (dibuat oleh Sekolah Pertukangan yang ada di Ende dengan berat per genteng yaitu -+3kg). Karena letaknya di pinggir pantai maka atap yang terbuat dari seng tidak kuat dan berkarat sehingga sangat mengganggu aktivitas para jemaat, sedangkan bagian bangunan yang lainnya masih utuh sejak dibangun. Seluruh bangunan terbuat dari kayu jati asli dari Semarang. Untuk membangun gereja ini membutuhkan 150 kubik kayu yang terbagi dalam dua tahap (pengiriman pertama 130 kubik ternyata tidak cukup, maka ditambah 30 kubik untuk bisa berdiri kokoh dan utuh). 
Kondisi dalam Gereja Tua Sikka

Selanjutnya, kami makan siang di sebuah warung kecil pinggir pantai dan kembali kami melanjutkan perjalanan ke Ende. Target selanjutnya adalah Kampung Adat Wologai. Setelah sampai tujuan, kami tidak menemukan aktivitas wisatawan dan itu terjadi karena kampung adat tersebut belum menerima kunjungan wisatawan karena Covid19, belum sempurna jika kita hanya pergi di Kelimutu tidak singgah di sebuah desa yang belakangan ini sering disebut-sebut oleh masyarakat luas yaitu Desa Detusuko Barat yang tongkat kekuasaan ada ditangan Kepala Desa muda inspiratif yaitu Bapak  Ferdinandus Watu. Tapi kegagalan terus bersama kami, setelah sampai tujuan ternyata beliau sedang mengikuti acara adat (kami tidak bisa berbuat apa karena sebelumnya tidak ada komunikasi dengan beliau). Kami kembali melanjutkan perjalanan ke Ende dan singgah di sebuah tempat penjualan kain tenun Ende untuk buah tangan balik ke Labuan Bajo dan hari sudah mulai malam dan memutuskan untuk makan malam. 

Setelah makan malam kami melanjutkan perjalanan ke Boawae, Nagekeo dan memutuskan untuk berhenti di sana. Sebelumnya sudah melakukan koordinasi dengan teman saya di Boawae mencari seseorang untuk dijadikan pemandu lokal selama di Boawae. Rencana yang sudah matang sebelum berangkat dari Maumere bahwa kami akan mendaki sebuah gunung di Boawae. Selama dalam perjalanan kami melakukan koordinasi dengan pemandu yang direkomendasikan tadi untuk persiapan pendakian tersebut. Gunung yang dimaksud adalah Gunung Ebulobo, dengan ketinggian 2.124 mdpl. Setelah diskusi malam hari di tempat registrasi pendakian ternyata teman-teman mengurungkan niat untuk mendaki dikarenakan kelelahan. Dalam hati saya bertekat apapun yang terjadi saya harus kuat karena ini menjadi pengalaman perdana dalam hidup saya mendaki dengan ketinggian tersebut.

Hari ke-9
Boawae, Nagekeo - Labuan Bajo

Pada pukul 2.25 dini hari kami mulai melakukan pendakian. Jalur yang dilalui untuk pendakian pun terbilang cukup sulit. Medan yang dilalui sebelum pos 1 masih kategori sedang, antara pos 1 dan 2 sudah mulai sedikit tanjakan dan pos 2 dan 3 medannya sudah mulai sulit. Dari pos 3 sampai batas vegetasi hampir keseluruhan medannya tanjakan. Batas vegetasi dan puncak teras begitu sulit karena selain tanjakan yang begitu menukik juga medan yang kami lalui yaitu bebatuan yang terkadang ekstra hati-hati. Setelah melewati batas vegetasi, sinar mentari pagi seakan siap menyapa kami, karena salah satu tujuan kami adalah menikmati sang mentari pagi keluar dari sarangnya di atas puncak. Dengan penuh semangat akhirnya kami sampai di puncak pada pukul 6.15. 

Bersamaan dengan itu tampak matahari seakan sedang menari di atas awan dan menyapa kami yang sedang ngos2an. Terasa seperti sebuah keajaiban. Melihat pemandangan yang sangat luar biasa. Matahari dan awan yang menari seakan  menyambut kedatangan kami. Untuk beberapa saat saya pun memberanikan diri untuk membuka jaket yang saya kenakan untuk menikmati udara yang sangat dingin tersebut, tapi itu tidak berlangsung lama, sebab selang berapa menit kemudian kabut menutupi matahari dan awan yang berada di depan kami. Angin mulai mengamuk. Keadaan mulai berubah dan kembali saya kenakan jaket. Cukup lama kabut terus menghalangi penglihatan kami. Setelah itu kembali kami merapikan peralatan dan mencari tempat berlindung. Sebagai pengalaman pertama dengan cuaca yang sedikit ekstrem tersebut membuat saya kewalahan menahan dinginnya puncak tersebut. 
Puncak G. Ebulobo Nagekeo 2.124 mdpl 

Kami pun memutuskan untuk berteduh di sebuah gua yang terdapat di puncak. Di puncak Gunung Ebulobo terdapat sebuah lubang besar menyerupai gua dengan lebar diperkirakan dapat menampung puluhan orang. Kami berteduh di tempat tersebut sambil menikmati cemilan yang dibawa dari rumah tempat kami registrasi. Setelah beberapa saat kemudian, kami diajak oleh Abang Fampel (pemandu lokal) untuk melihat belerang yang ada sisi lain puncak. Sambil menikmati pemandangan juga tentunya beberapa jepretan, kami ke lokasi yang dimaksud. Setelah merasa sudah cukup, kami memutuskan untuk turun dan jam menunjukkan pukul 8.45. Setelah memulai berjalan turun, kaki seakan membeku dan gemetar. Karena kemiringan lereng yang cukup tajam seakan membuat kaki tidak bisa berpindah tempat. Tapi dengan segala kekuatan yang masih tersisa oleh hantaman angin di puncak, kami berhasil sampai di titik start pada pukul 12.05 siang. 
Panorama yang tak terlupakan

Perjalanan panjang yang memberikan saya banyak pelajaran berharga dan menjadi pengalaman dasar di masa yang akan datang. Setelah kembali ke titik start kami disambut lagi oleh teman-teman yang tidak sempat naik. Mereka bercerita bahwa beberapa jam yang lalu mereka sempat tersesat di sebuah tempat. Pasalnya bahwa karena kejenuhan menunggu kami, mereka memutuskan mencari sungai untuk membersihkan mobil yang kami gunakan. Setelah berjalan cukup lama dan bertanya pada masyarakat lokal akhirnya mereka menemukan tempat yang mereka cari. Selain membersihkan mobil, mereka juga sempat mandi di sungai tersebut. Setelah beristirahat cukup lama, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Salah satu anggota dari kami menghubungi keluarga di sekitar daerah tersebut untuk singgah seruput kopi pahit khas Nagekeo. Setelahnya kami memutuskan untuk beristirahat di sana. Bapak Ibe adalah orang yang dimaksud. Suami dari salah satu mantan dosen kami di kampus. Kami disambut dengan penuh keakraban. Kami disuguhkan kopi juga makanan ringan bahkan membuat rujak dari jambu mente. Setelah itu dilanjutkan dengan makan siang, bernostalgia, terkadang tertawa bersama. 

Setelah makan siang saatnya kami kami harus balik Labuan Bajo. Dalam perjalanan pulang kami semua (penumpang) tertidur dengan nyenyak. Sang sopir handal kami mengeluarkan segala skill pembalapnya, hingga tak terasa kami sudah berada di daerah Manggarai Timur. Beberapa saat kemudian kami memasuki daerah Manggarai dan memutuskan untuk beristirahat dan dilanjutkan dengan makan malam. Selanjutnya joss dan gass ke Labuan Bajo.

Sekian......

Komentar

Postingan Populer