Pariwisata super prioritas Labuan Bajo
Penulis: : Fadil Mubaraq
Prihal : Sudut pandang penulis
"Catatan Labuan Bajo Dibalik Branding Premium"
Terkenal dengan keindahan alamnya yang mempesona Labuan Bajo, layak menjadi pariwisata berkelas dunia. Presiden Joko Widodo punya mimpi, Labuan Bajo hingga Pulau Komodo bakal jadi obyek wisata premium di mana hanya turis kelas atas yang bisa menikmatinya.Wisata Premium yang dimaksud adalah wisata yang dapat memberikan pengalaman lebih dari liburan lainnya, sebuah liburan yang berfokus kepada preferensi yang dimiliki oleh individu yang memang menginginkan sebuah pengalaman liburan berbeda dari liburan mereka sebelumnya atau belum pernah dialami.
Destinasi wisata di Labuan Bajo disiapkan dengan matang agar siap dan mampu menarik banyak wisatawan yang berkunjung sehingga memperoleh penambahan devisa. Usulan harga tiketnya pun tak main-main, diwacanakan sebesar US$ 1000 per orang atau sekitar Rp 14 juta (Soal kenaikan tiket, itu masih wacana)
Sebenarnya pemerintah, menyiapkan lima destinasi yang akan dipromosikan (diprioritaskan) yakni adalah Mandalika (Lombok Tengah, NTB), Labuan Bajo (Manggarai Barat, NTT), Borobudur (Jateng), Danau Toba (Sumatera Utara), dan Manado (Sulawesi Utara). Namun, segmennya berbeda-beda, ada yang super premium, medium ke bawah, ada yang untuk wisata ramai-ramai, juga wisata khusus.
Lantas bagaimana perkembangan infrastruktur, sarana, dan prasarana di lokasi wisata premium Labuan Bajo saat ini?
Pembenahan infratruktur seperti jalan, sistem kelistrikan memang sudah mulai digenjot. Kehadiran tempat makan dengan standar internasional pun mulai ramai bermunculan, bahkan sudah terdapat gerai kopi Starbucks (gerai pertama rantai bisnis kopi dunia). Begitu juga dengan kehadiran hotel-hotel yang mulai menerapkan standar internasional di fasilitasnya. Secara keseluruhan, catatan positif untuk industri dan sarana penunjang wisata di Labuan Bajo memang sudah mulai memadai.
Namun bagaimana nasib masyarakat lokal dengan kehadiran kata premium?
Sebelumnya kehadiran pariwisata (BTNK) telah membentuk economic linkage (rantai ekonomi) untuk kota Labuan Bajo dan sekitarnya. Menariknya rantai ekonomi yang terbentuk cukup banyak berkontribusi bagi masyarakat lokal yang dominan mengembangkan usaha-usaha pariwiasta berskala kecil, jauh dari kategori premium.
Menurut data yang dirilis oleh Dinas Kabupaten Manggarai Barat (2018) mencatat bahwa di Labuan Bajo sekarang ini terdapat kurang lebih 80 hotel (15 hotel berbintang, 1 hotel non bintang, 3 hostel, 45 melati, 8 penginapan, 6 Losmen, 1 P. Wisata dan 1 perkemahan). Juga terdapat 59 biro perjalanan, 16 travel agent dan 7 Informasi pariwisata yang menjual paket perjalanan wisata menuju Taman Nasional Komodo. Perjalanan wisata ke Taman Nasional Komodo juga menciptakan lapangan kerja bagi lebih dari 100 orang pemandu wisata. Sementara, dari segi aksesilibitas, wisatawan yang berkunjung ke Labuan Bajo juga memanfaatkan jasa dari kurang lebih 300 taksi bandara. Perjalanan wisata ke Taman Nasional Komodo telah membuka kesempatan kerja bagi lebih dari 300 kapal wisata yang meperkerjakan kurang lebih 3000 karyawan.
Kehadiran industri pariwisata tentunya sudah membuka lapangan kerja buat masyarakat lokal sehingga bisa meningkatkan perekonomian (memang belum menyeluruh masih segelintir orang yang menikmati).
Untuk menggeluti sebuah profesi dalam industri pariwisata dibutuhkan skill yang memadai, karena kita akan bersaing (memiliki kompetitor) dalam dunia kerja. Sehingga lagi-lagi butuh uluran tangan (kontribusi) dari pemerintah seperti pelatihan dan peningkatan SDM masyarakat lokal, juga inisiatif sendiri dari masyarakat lokal agar bisa bersaing dengan kompetitor dari luar agar mendaptkan manisnya pariwisata dari kata premium.
Lantas adakah potensi bahaya dibalik design premium?
Ambisius yang terlampau akrobatik memajukan pariwisata di Labuan Bajo-Flores dengan mengubah Taman Nasional Komodo (TNK) sebagai destinasi premium akan sangat berdampak buruk bagi masa depan pariwisata Labuan Bajo sendiri. Tidak saja akan mengubah image destinasi TNK di mata publik internasional, tetapi juga mematikan distribusi aliran keuntungan pariwisata bagi usaha-usaha kelas menengah ke bawah dari masyarakat lokal. Rencana pembangunan Sarpras Pengembangan Amenitas Pariwisata oleh Presiden Jokowi di Pulau Rinca sangat bertentangan dengan keberadaan Loh Buaya sebagai bagian Kawasan Konservasi Taman Nasional Komodo.
Penulis berharap yang terjadi dibeberapa Negara tidak terjadi di TNK seperti penghapusan dari daftar Situs Warisan Dunia oleh UNESCO. Sejauh ini, telah dilakukan pada dua spot yakni Arabian Oryx Sanctuary di Oman dan Dresden Elbe Valley di Jerman. Hal itu terjadi karena zona pemanfaatan yang kian dipersempit untuk kepentingan investasi.
Diharapkan branding premium selaras dengan asas kepariwisataan (menurut UU no 10 tahun 2009) yaitu Manfaat, Adil dan Merata, Keseimbangan, Kemandirian, Kelestarian, Partisipatif, Berkelanjutan, Kesetaraan dan juga kepariwisataan bertujuan untuk Meningkatkan pertumbuhan ekonomi, Meningkatkan kesajhteraan rakyat, Menghapus kemiskinan, Mengatasi pengangguran, Melestarikan alam, Lingkungan, dan Sumber daya Manusia.
”Taman Nasional Komodo , biarkan tetap menjadi TNK yang sekarang, jangan diubah jadi seperti Taman Safari di Afrika”
Penulis bukan menolak pembangunan ataupun berubahan untuk TNK tapi, bagaimana perubahan dan pembangunan itu tetap mempertahakan nuansa lokal agar kata premium benar-benar ada dan terlaksana. Jangan fokuskan pembangunan dalam bentuk fisik tapi pembenahan SDM perlu diprioritaskan agar branding premium terlihat jelas.
Komentar